Sabtu, 05 Maret 2016

Taman Nasional Kutai
Rute di hari ketiga diawali dengan mendatangi dua sekolah. Sempat mengambil beberapa data yang diperlukan untuk keperluan redaksional. Sekitar pukul 10.30, perjalanan pun dilanjutkan. Sempat berencana ke Taman Nasional Kutai. Sempat singgah di pintu utamanya pula. Dan yang terjadi sesaat berikutnya adalah, saya banyak berdoa. Berharap tidak perlu memasuki TNK. Berharap tidak ada petugas yang menjaganya sehingga tidak jadi masuk ke dalamnya.
Seorang rekan kantor sempat mengetuk-ngetuk pintu rumah yang ada persis di pintu masuk TNK. Namun, tak satu pun yang menyahut. Padahal, kami mendengar tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tidak ada petugas yang menjaga di bagian loket. Tempat itu pun sangat berkesan angker, menurut saya. Gelap sekali padahal hari masih siang. Pepohonan tinggi dan sepertinya tidak nampak langit. Ada anak panah tanda masuk yang mengarahkan pada sebuah jalan bambu, mungkin pintu masuk menuju TNK. Jujur saja, saya tidak berani melangkah lebih dari lima langkah di situ. Suara-suara berbagai jenis hewan pun terdengar.
Saya lega ketika akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Perjalanan dari Sangatta menuju Samarinda pun diteruskan. Saya juga lega perjalanan kembali ke Samarinda dilakukan siang hari. Rasanya lebih aman dibandingkan malam hari. Di tengah jalan, saya dibuat takjub melihat beberapa pedagang yang menjual pisang tanduk berukuran sebesar tangan adik saya. Hahaha. Adik saya gendut, fyi. Itu artinya, pisangnya besaarrrr banget. Hahaha. Karena penasaran, rekan kantor saya membelinya. Saya pun dioleh-olehin empat buah pisang.
Saya sempat mampir di kantor rep di Bontang. Memasuki kota ini, sangat terlihat berbeda dibandingkan dengan Sangatta. Tertata rapi. Dan, oh, di pom bensin di Bontang lah, saya mendapatkan Nescafe kaleng, yang sanggup memenuhi kerinduan saya akan kopi (bukan kopi hitam).
Hari sudah sore ketika akhirnya tiba di Samarinda. Sempat mampir di pasar yang menjual berbagai kerajinan batu, oleh-oleh khas Samarinda. Saya tidak begitu tertarik membelinya. Yang teringat di kepala saya cuma kain batik untuk kedua orang tua, seperti ketika kakak saya datang ke Samarinda dan membelikan mereka kain batik.
Akhirnya bisa tidur di kamar hotel yang nyaman. Karena sudah terlalu lelah, makan malam pun dilakukan dengan memesan makanan dari restoran di hotel. Not bad. Harganya pun sangat terjangkau. Untuk seporsi mi goreng yang penuh dengan isi dan akhirnya saya tidak sanggup menghabiskannya, kalau tidak salah itu hanya sekitar Rp30.000,00.
Museum Mulawarman
Keesokan harinya, setelah mampir ke kantor cabang di Samarinda, saya diajak ke Tenggarong, sekitar 45 menit dari Samarinda. Tenggarong termasuk kota besar dan tampilannya menurut saya lebih rapi daripada Samarinda.
Di sini, saya berkunjung ke Museum Mulawarman. Museum ini menampilkan berbagai koleksi pencerminan kebudayaan Kalimantan Timur. Bangunan induk museum ini merupakan bekas Keraton Kutai Kertanegara yang dibangun oleh Holland Beton Matscappy tahun 1935. Saya lupa berapa biaya masuk ke museum ini. Namun yang pasti, sama halnya dengan museum-museum yang ada di Jakarta, harganya sangat murah.
See me? (@ Museum Mulawarman)
Soal makan, saya puas makan seafood selama berada di Sangatta maupun Samarinda. Siang itu, saya makan di sebuah restoran di tepi Sungai Mahakam. Menunya sudah pasti seafood, seperti udang, ikan, dan cumi-cumi.
Selesai makan siang, museum berikutnya yang dikunjungi adalah Museum Kayu. Tiket masuknya hanya seribu rupiah. Murah ya? Sesuai namanya, museum ini punya sejumlah koleksi jenis kayu. Ada pula dummy rumah adat maupun alat kesenian khas Kalimantan. Di bagian tengah, ada dua buaya muara yang diawetkan. Katanya sih, kedua buaya itu pernah makan orang. Ih, bergidik saya melihatnya. Setelah diawetkan saja ukurannya masih besar sekali. Apalagi aslinya!
Museum Kayu
Sebelum akhirnya kembali ke kantor cabang di Samarinda untuk selanjutnya menuju Balikpapan, saya sempat berkunjung ke kantor dinas pariwisata setempat dan mengabadikan foto jembatan di Tenggarong.
Nah, di taman di pinggir Sungai Mahakam ini lah, menurut saya, pas buat jadi tempat hang out. Tapi, kenapa mesti dicoret-coret dengan tulisan yang enggak penting sih?
See? Kenapa sih mesti ada coretan nggak penting?
Ketika akhirnya tiba di Balikpapan dan check in di hotel, waktu sudah menujukkan pukul 20.30. Melelahkan dan ingin segera kembali ke Jakarta keesokan siang.
Sebelum menuju bandara, saya sempat mengunjungi pusat penangkaran buaya. Katanya tersedia lebih dari seribu buaya di tempat itu. Iiihhh seram juga loh sebenarnya melihat buaya-buaya yang sepertinya cuma diam saja itu. Apalagi kalau mendadak ia menggerakkan badan. Hiiii…ngeri kalau tiba-tiba buaya meloncat dan menerkam. Oh, ada sate buaya! Ihhh, kayak apa rasanya ya? Tapi, apapun rasanya, sepertinya saya ogah memakannya deh. It’s a big no no.
Pantai Segara Sari Manggar
Jalan-jalan selanjutnya di Balikpapan adalah Pantai Segara Sari Manggar. Enggak banyak yang bisa dinikmati di sini. Matahari nampak bersinar narsis kala itu. Mungkin karena masih jam 09.00 pagi, tempat itu masih sepi. Namun, katanya, kalau akhir pekan atau sore hari, tempat itu ramai. Sejumlah permainan air pun ada di tempat ini, seperti banana boat.
Perjalanan selama lima hari Kalimantan Timur pun resmi berakhir ketika akhirnya tiba di bandara dan siap kembali ke Jakarta. Mungkin suatu hari, perbendaharaan saya akan Kalimantan akan bertambah, ditandai dengan kunjungan ke kota-kota lainnya. Semoga. Entah kenapa di akhir tulisan ini, saya mau bilang, ini Indonesia, negara saya berpijak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar