
Seorang rekan kantor sempat mengetuk-ngetuk pintu rumah yang ada persis di pintu masuk TNK. Namun, tak satu pun yang menyahut. Padahal, kami mendengar tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tidak ada petugas yang menjaga di bagian loket. Tempat itu pun sangat berkesan angker, menurut saya. Gelap sekali padahal hari masih siang. Pepohonan tinggi dan sepertinya tidak nampak langit. Ada anak panah tanda masuk yang mengarahkan pada sebuah jalan bambu, mungkin pintu masuk menuju TNK. Jujur saja, saya tidak berani melangkah lebih dari lima langkah di situ. Suara-suara berbagai jenis hewan pun terdengar.
Saya lega ketika akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Perjalanan dari Sangatta menuju Samarinda pun diteruskan. Saya juga lega perjalanan kembali ke Samarinda dilakukan siang hari. Rasanya lebih aman dibandingkan malam hari. Di tengah jalan, saya dibuat takjub melihat beberapa pedagang yang menjual pisang tanduk berukuran sebesar tangan adik saya. Hahaha. Adik saya gendut, fyi. Itu artinya, pisangnya besaarrrr banget. Hahaha. Karena penasaran, rekan kantor saya membelinya. Saya pun dioleh-olehin empat buah pisang.
Saya sempat mampir di kantor rep di Bontang. Memasuki kota ini, sangat terlihat berbeda dibandingkan dengan Sangatta. Tertata rapi. Dan, oh, di pom bensin di Bontang lah, saya mendapatkan Nescafe kaleng, yang sanggup memenuhi kerinduan saya akan kopi (bukan kopi hitam).
Hari sudah sore ketika akhirnya tiba di Samarinda. Sempat mampir di pasar yang menjual berbagai kerajinan batu, oleh-oleh khas Samarinda. Saya tidak begitu tertarik membelinya. Yang teringat di kepala saya cuma kain batik untuk kedua orang tua, seperti ketika kakak saya datang ke Samarinda dan membelikan mereka kain batik.
Akhirnya bisa tidur di kamar hotel yang nyaman. Karena sudah terlalu lelah, makan malam pun dilakukan dengan memesan makanan dari restoran di hotel. Not bad. Harganya pun sangat terjangkau. Untuk seporsi mi goreng yang penuh dengan isi dan akhirnya saya tidak sanggup menghabiskannya, kalau tidak salah itu hanya sekitar Rp30.000,00.

Di sini, saya berkunjung ke Museum Mulawarman. Museum ini menampilkan berbagai koleksi pencerminan kebudayaan Kalimantan Timur. Bangunan induk museum ini merupakan bekas Keraton Kutai Kertanegara yang dibangun oleh Holland Beton Matscappy tahun 1935. Saya lupa berapa biaya masuk ke museum ini. Namun yang pasti, sama halnya dengan museum-museum yang ada di Jakarta, harganya sangat murah.

Selesai makan siang, museum berikutnya yang dikunjungi adalah Museum Kayu. Tiket masuknya hanya seribu rupiah. Murah ya? Sesuai namanya, museum ini punya sejumlah koleksi jenis kayu. Ada pula dummy rumah adat maupun alat kesenian khas Kalimantan. Di bagian tengah, ada dua buaya muara yang diawetkan. Katanya sih, kedua buaya itu pernah makan orang. Ih, bergidik saya melihatnya. Setelah diawetkan saja ukurannya masih besar sekali. Apalagi aslinya!

Nah, di taman di pinggir Sungai Mahakam ini lah, menurut saya, pas buat jadi tempat hang out. Tapi, kenapa mesti dicoret-coret dengan tulisan yang enggak penting sih?

Sebelum menuju bandara, saya sempat mengunjungi pusat penangkaran buaya. Katanya tersedia lebih dari seribu buaya di tempat itu. Iiihhh seram juga loh sebenarnya melihat buaya-buaya yang sepertinya cuma diam saja itu. Apalagi kalau mendadak ia menggerakkan badan. Hiiii…ngeri kalau tiba-tiba buaya meloncat dan menerkam. Oh, ada sate buaya! Ihhh, kayak apa rasanya ya? Tapi, apapun rasanya, sepertinya saya ogah memakannya deh. It’s a big no no.

Perjalanan selama lima hari Kalimantan Timur pun resmi berakhir ketika akhirnya tiba di bandara dan siap kembali ke Jakarta. Mungkin suatu hari, perbendaharaan saya akan Kalimantan akan bertambah, ditandai dengan kunjungan ke kota-kota lainnya. Semoga. Entah kenapa di akhir tulisan ini, saya mau bilang, ini Indonesia, negara saya berpijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar