Saya ingin berbagi cerita sedikit tentang
kota Samarinda. (Ceritanya sedikit sih, tapi tulisannya panjang.
Hehe..). Sampai saat ini, kota Samarinda masih berstatus ibukota
provinsi Kalimantan Timur. Kota ini identik dengan cuaca panas. Itulah
kesan awal yang saya tangkap saat kali pertama menginjakkan kaki di kota
ini tiga tahun yang lalu. Tidak heran karena letaknya yang tak begitu
jauh dari garis khatulistiwa jika dilihat dalam peta.
Kota ini juga berjuluk Kota Tepian. Saya
belum mendapat filosofi dasar dari para “ahlinya” hingga kota ini
mendapat julukan keren itu. Tapi kesimpulan saya saat ini, mungkin
karena kota ini letaknya yang berada di tepian Sungai Mahakam. Sungai
yang tercatat sebagai sungai terlebar di Indonesia. Bagi masyarakat
sekitar, sungai ini juga menyisakan cerita tersendiri : cerita misteri
nan angker. Ingin tahu mengapa dan seperti apa ? Silahkan berkunjung ke
Samarinda.
Kesan Samarinda kota yang panas tak
bertahan begitu lama. Setahun di kota ini saya mendapat kesan baru. Kota
ini identik dengan cuaca yang tidak jelas. Cuaca ekstrem. Itulah
sebutan saya untuk cuaca Samarinda. Terkadang di tengah terik matahari,
tanpa permisi tiba-tiba turun hujan deras. Warga pendatang yang belum
beradaptasi total dengan cuaca itu, harus siap-siap mendatangi apotek
terdekat untuk membeli obat demam atau flu.
Fenomena alam ini jadi momok bagi warga
Samarinda. Aktifitas rutin warga jadi terganggu, acara yang sudah
terjadwal harus batal karena hujan, dan dampak paling tak disukai dari
hujan ketika mengguyur adalah banjir!
Itulah gejala alam yang menggoroti
Samarinda bertahun-tahun terakhir. Paling mengherankan bagi saya di masa
awal, hujan yang turun terkadang tak berlangsung lama. Hujan deras
hanya butuh waktu kurang dari dua jam dan binggooo….banjir hampir
terjadi di seluruh wilayah Samarinda. Penyebabnya beragam. Mulai dari
tata ruang kota yang semrawut, sistem drainase yang tak berfungsi
optimal, pendangkalan Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus yang
berfungsi sebagai aliran pembuangan genangan air banjir, kesadaran warga
untuk menjaga kebersihan sangat rendah, pelaksanaan perda yang tak
tegas, dan terparah karena kota ini telah dikelilingi oleh aktifitas
tambang!
Terkadang di beberapa kasus banjir,
wilayah yang berdekatan dengan lokasi tambang mendapat jatah ekstra
yaitu banjir lumpur. Topik banjir menjadi salah satu topik pembicaraan
teratas dalam deretan “tangga” problem kota Samarinda. Pada moment
tertentu, topik banjir menjadi objek jualan andalan para politikus untuk
menarik simpati dan dukungan warga.
Tapi di sini saya tak hendak bercerita
tentang peliknya penanganan banjir di kota ini. Saya ingin berbagi kesan
lain saat banjir menggenangi Samarinda. Lewat jepretan kamera saku yang
belakangan sering terbawa olehku, beragam pemandangan banjir berhasil
kutangkap.
Seperti banjir yang terjadi pada hari
Minggu sore yang lalu. Tepatnya tanggal 10 Juli 2011. Sama dengan
banjir-banjir sebelumnya, kali ini juga diakibatkan hujan deras yang
mengguyur Samarinda hanya sekitar satu jam setengah. Hujan yang turun
bersamaan dengan kumandang adzan sholat Ashar sore itu memang terkesan
“angker”. Bagaimana tidak, selain deras, turunnya juga disertai petir
dan guntur bersahutan serta angin kencang.
Saat hujan terjadi, saya dan teman
kelompok KKN lainnya sedang sholat berjamaah bersama warga di Masjid
Daarul Falihin, Kompleks Perumahan Batu Alam Permai, Juanda. Kebetulan
lokasi posko KKN kami berada di kompleks perumahan elit ini. Selesai
sholat ashar, hujan semakin mengamuk. Karuan saja kami tetap berteduh di
masjid. Singkat cerita, semua pada ketiduran…lelah!

(Gambar 1 : Mesjid Daarul Falihin, nampak dari sisi kanan masjid)
Sekitar pukul lima lewat tiga puluh
menit, hujan mulai reda. Kami kembali ke posko. Seorang teman usul
langsung balik saja ke kampus. Sebut saja namanya Arief. Tapi oleh teman
yang lain, Iwan, menyarankan agar ditunda dulu.
“Pulang yuk…udah gak ada kerjaan juga,”
ajak si Arif. “Entar habis magrib saja, jam segini biasanya jalan macet,
belum lagi habis hujan deras, pasti banjir.” timpal Iwan. Kayaknya si
Iwan ini sudah hafal dengan keadaan Samarinda.
Tapi si Arif tetap ngotot untuk pulang.
Karena Arif tak membawa motor, dia dibonceng Iwan, Iwan akhirnya
mengiyakan. Aneh mereka ini. Siapa yang ngikut dibonceng, siapa yang
ngotot mengatur. Alhasil mereka pulang duluan. Tinggallah saya di posko
KKN bersama seorang teman, Adit, kebetulan dia tuan rumah posko. Karena
cewek-ceweknya juga sudah ikut pulang duluan.
Menjelang jam enam saya putuskan untuk
ikut pulang lebih awal. Menyusuri Jalan Juanda 7, wow…benar saja,
separuh jalan sudah tergenang banjir. Tingginya mencapai lutut orang
dewasa. Kali ini saya beranikan diri untuk menerobos banjir.
Alhamdulillah sampai di ujung jalan motor saya selamat tanpa mogok.
Tapi, ketegangan baru saja dimulai. Kemacetan panjang terjadi di
sepanjang Juanda 8. Meskipun ketinggian air di jalan ini tak setinggi
banjir di Juanda 7.
Sudah terlanjur ikut arus, pantang untuk
kembali. Terpaksa saya ikut antrian yang bergerak merangkat pelan itu.
Pengendara motor harus ekstra hati-hati. Salah sedikit mengendalikan
arah motor, bisa langsung nyemplung ke got di kiri-kanan jalan. 15 menit
berjalan, tak ada tanda-tanda kemacetan itu akan berkurang. Malah
semakin menjadi-jadi. Dari titik awal saya hanya berpindah tak lebih
dari 20 meter. Saya putuskan untuk berhenti memarkir motor bersama
beberapa pengendara motor lainnya di sebuah pekarangan rumah warga.
Kebetulan, pekarangan rumah warga itu agak lebih tinggi dari badan
jalan.
Tak berselang lama, saya menerima sms
dari Iwan. “Akh…jalanan banjirr,” isi sms Iwan. “Tauu…nie juga lagi
terperangkap akh,” balasku. “Dimana? motor mogok?” tanya dia lagi.
“Hehe…Alhamdulillah belum mogok, di Juanda 8,” balasku. “Syukurlah,
jangan sampe mogok ya. Tadi motor teman ada yg mogok di lampu merah
Juanda,” balasan Iwan.
Pengendara lain yang nampak mulai
frustasi mencoba mencari jalur alternatif lain. Tapi hasilnya nihil.
Mereka kembali lagi ke posisi awal. Nampaknya di jalur lain keadaannya
juga sama. Dari lokasi itu saya sempatkan untuk mengambil gambar
kemacetan di tengah banjir Juanda 8.

(Gambar 2 : Banjir dan kemacetan di sepanjang Jalan Juanda 8)
Tak lama kemudian adzan magrib
berkumandang. Saya perkirakan jika ikut antrian panjang kendaraan ini,
saya mungkin belum sampai ke rumah hingga masuk waktu sholat isya. Belum
lagi ancaman motor mogok di tengah jalan. Sedangkan mesjid terdekat
dari posisi itu adanya di Juanda 7. Saya putuskan untuk memutar balik
arah ke Juanda 7. Sebelumnya kan sudah berhasil lolos tanpa mogok. Hehe.
Selesai sholat magrib berjama’ah dengan
warga, saya istirahat sekitar setengah jam. Hitung-hitung menunggu
banjir surut dan kemacetan berkurang. Kembali ke Juanda 8,
ups…perhitungan saya salah, jumlah kendaraan malah semakin memenuhi ruas
jalan. Saya putuskan untuk tetap mengikuti antrian itu. Target lokasi
terdekat saya adalah Kompleks Juanda Plaza. Itu lokasi aman bebas
banjir.
Setelah bersabar “merangkak” bersama
pengendara lain, akhirnya sampai juga di titik tujuan, Juanda Plaza. Di
lokasi itu saya putuskan untuk beristirahat lebih lama. Kompleks Junda
Plaza terhubung langsung ke Jalan Juanda utama yang juga dilanda banjir.
Nampak begitu jelas antrian yang lebih parah panjangnya.
Setelah memarkir motor di lokasi teraman, saya lalu bergerilya untuk memotret berbagai moment di lokasi itu.

(Gambar 4 : Banjir menggenangi Jalan Juanda, depan Kompleks Juanda Plaza)
Jalan Juanda adalah salah satu titik
langganan banjir hujan. Titik lainnya yaitu Jalan Sutomo, Simpang Vorvoo
(Simpang Mall Lembuswana), Jalan P. Antasari, Jalan Banggeris, Simpang
Empat Sempaja, Jalan Bengkuring, Jalan Kusuma Bangsa, . . . .
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul
setengah delapan malam. Tapi kemacetan belum menunjukkan tanda-tanda
akan berkurang. “Kendaraan sebanyak ini darimana datangnya? Tak kusangka
kendaraan di Samarinda sudah bisa membuat kemacetan seperti ini,”
celetuk seorang warga di samping saya yang ikut menyaksikan kemacetan
itu. “Datang dari dealernya masing-masinglah…masa dari langit…haha,”
timpal seorang warga disebelahnya. Timpalan yang membuat saya ikut
tertawa.
Di lokasi itu terdapat simpang jalan yang
menghubungkan jalan Juanda utama dengan Juanda 7. Seperti nampak pada
Gambar 5 dan 6, titik itu menjadi salah satu biang kemacetan. Itu sebab
tak ada polisi lalu lintas yang mengatur jalannya kendaraan. (Ya iyalah
tak ada, mereka juga kan terjebak macet, atau mungkin sudah mogok
motornya di tengah jalan). Tak satu pun juga warga yang berinisiatif
untuk menggantikan peran polisi lalu lintas saat itu. Termasuk saya
sendiri. (Sebenarnya pengen sih, tapi kalau saya yang turun tangan, yang
jeprat-jepret siapa donk? hehe…)

(Gambar 5 : Kemacetan di simpang jalan Juanda – Juanda 8).
(Gambar 6 : Kemacetan di simpang jalan Juanda utama – Juanda 8).
Penasaran dengan kendaraan yang gagal
lolos menerjang banjir? Jangan kuatir, saya berhasil menangkap beberapa
gambar pengendara yang terpaksa mendorong motornya yang mogok di tengah
jalan. Seperti pada Gambar 7, 8, dan 9 di bawah ini.

(Gambar 7 : Seorang pengedara motor terpaksa mendorong motornya yang mogok di tengah banjir)
(Gambar 7 : Seorang pengedara motor terpaksa mendorong motornya yang mogok di tengah banjir).

(Gambar 8 : Bapak ini akhirnya sampai juga di tempat yang airnya lebih dangkal)
Gambar 8 : Bapak ini akhirnya sampai juga di tempat yang airnya lebih dangkal).

(Gambar 9 : Pengendara satu ini pun turut jadi korban banjir)
(Gambar 9 : Pengendara satu ini pun turut jadi korban banjir).
Motor para pengendara ini mogok tidak
hanya karena mesin motornya terendam air, tetapi ada juga yang mogok
karena kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Itu karena panjangnya
antrian kemacetan. Musibah bagi pengendara jalan itu menjadi berkah bagi
para penjual bensin eceran yang berjejer rapi di sepanjang jalan.
Beruntung harga jual ecerannya masih normal.

(Gambar 10 : Beberapa pengendara motor memilih untuk beristirahat
sejenak. Entah karena kelelahan, takut mogok, atau mengatur strategi
menembus banjir dan kemacetan. hehe)
Bagi banyak orang, banjir adalah musibah
yang menjadi kendala untuk beraktifitas. Tapi tidak bagi para penjual
makanan di Kompleks Juanda Plaza. Meskipun banjir melanda, usaha mencari
nafkah hidup tetap mereka jalankan. Meskipun harus berjualan di atas
air (Seperti nampak pada Gambar 11). Saya pun sempat mewawancarai salah
satu dari mereka. Nama penjual gorengan itu adalah Sugeng.
“Permisi Pak, biar banjir gini jualannya
tetap buka ya?” tanyaku. “Iya, Mas. Airnya kan belum terlalu tinggi. Mau
beli?” ucap beliau. “Salut Pak. Boleh. Pisang goreng sama tahu isinya
tiga ribu Pak yah. Gak takut gerobak Bapak terbalik diterjang gelombang
air kalau mobil besar lewat?” saya kembali bertanya. “Kaki-kakinya udah
dipasang pengaman di bawahnya. Kalau banjirnya sampe lewat lutut,
nah…baru kami gak berani buka gerobak, Mas. Ini gorengannya.” jawab
beliau sambil menyodorkan pesanan saya. “Oh begitu. Siip…moga jualan
Bapak laris. Ini duitnya. Makasih Pak ya.” ucapku.
Luar biasa perjuangan Anda Pak.

(Gambar 11 : Banjir melanda, jualan tetap buka, demi nafkah anak istri di rumah)
(Gambar 12 : Salah satu gerobak penjual makanan tetap beroperasi di tepi jalan Juanda yang sedang dilanda banjir).

(Gambar 13 : Nampak barisan PKL berjejer rapi di pinggiran depan
Kompleks Juanda Plaza. Mereka tetap diizinkan beroperasi oleh pengelola
setempat karena mereka mampu menjaga kebersihan lingkungan tempat mereka
berjualan. Dan pastinya patuh nyetor iuran tempat).
Sudah hampir satu jam saya berada di
kompleks itu. Tapi kemacetan belum juga berkurang. Perut saya mulai
meminta jatah lagi. Padahal tadi baru saja diisi dengan gorengan Pak
Sugeng. Saya memang cepat merasa lapar. Tapi heran…gak gemuk-gemuk juga.
Hehe…Saya putuskan kembali membeli makanan jajanan. Pilihan saya jatuh
ke kue terang bulan rasa cokelat susu. (Maaf jika membuat Anda terpaksa
menelan rasa).

(Gambar 14 : Sekotak kue terang bulan rasa cokelat susu menjadi pengsisi perut saya malam itu)
Pukul 20.30 saya putuskan untuk bergerak
ke Simpang Vorvoo depan Mall Lembuswana. Di sana biasanya menjadi salah
satu titik antrian panjang jika banjir terjadi. Menyusuri Jalan Juanda,
saya memilih berada di jalur kanan badan jalan. Airnya lumayan lebih
dangkal di banding sisi kiri.
Tak berselang lama, sampai juga di daerah
Vorvoo. Saya memarkir motor di pos pangkalan ojek Vorvoo. Terlihat
sangat sepi, hanya tersisa satu motor terparkir tanpa pemiliknya.
Maklum, pos itu sudah terbenam air setinggi betis orang dewasa. Ternyata
para Ojekers Vorvoo tak libur malam itu. Hanya berpindah pangkalan
untuk sementara waktu. Mereka memilih nongkrong di atas trotoar tak jauh
dari Pos Polisi Simpang Vorvoo. Seperti nampak pada Gambar 15.

(Gambar
15 : Pengendara ini bukan korban motor mogok akibat banjir. Mereka
Ojekers Vorvoo yang tetap narik sekalipun banjir melanda jalanan).
Tariiikk Maangg….!!
Banjir itu tak pandang bulu kelas atau pekerjaan warga. Motor Pak Pulisi pun turut jadi korban banjir. Hehe…

(Gambar 16 : Salah satu petugas polisi nampak sedang berusaha menyalakan mesin motornya yang mogok akibat banjir)
Suasana Simpang Vorvoo depan Mall
Lembuswana memang menjadi salah satu pusat pertemuan kepadatan arus lalu
lintas. Alhasil jika banjir, titik ini menjadi pusat keramaian antrian.
Seperti nampak pada Gambar 17. Namun banjir kali ini belum sedalam
banjir pada 2007 silam. (Kok tahu? Hasil penelusuran di koran lokal…)

(Gambar 17 : Nampak warga mencoba melintasi jalan yang sedang tergenang banjir di Simpang Mall Lembuswana).
Untuk mengambil gambar ini saya
bela-belain memanjat pot bunga raksasa di taman tepat di tepi jalan
loh..Sebenarnya sempat terbersit keinginan untuk mengambil gambar dari
atas menara Masjid Al Ma’ruf di seberang jalan. Tapi nyali saya
Alhamdulillah segera menciut. Kalau ada insiden jatuh, kan gak lucu.
Masak saya yang harus jadi headline media. Beritanya buruk pula.
Cerita lain dari banjir, tak selalu
menghadirkan derita. Buktinya, ada saja warga yang mendapat berkah lebih
dengan datangnya banjir. Seperti nampak pada Gambar 18. Warga ini
memanfaatkan kelebihan debit air di Volder Vorvoo untuk menangkap ikan.
Caranya pun cukup unik bagi saya. Bukan dengan pancing biasa. Tapi
dengan pancing pukat. Sekali angkat, bisa langsung dapat ikan lebih dari
satu ekor. Sekali angkat pula, kadang tak dapat satu ekor pun.
Hehe…keren.

(Gambar 18 : Beberapa warga yang memanfaatkan luapan banjir volder Vorvoo untuk menangkap ikan dengan pancing pukat)
Volder Vorvoo adalah salah satu proyek
penanganan banjir wilayah Vorvoo. Kolam volder ini dibuat untuk
difungsikan sebagai kolam penampungan air jika hujan mengguyur Samarinda
khususnya daerah Vorvoo. Namun bukannya menjadi kolam penanganan
banjir, malah menjadi kolam sumber banjir. Mengapa tidak? Kolam ini tak
terawat sama sekali. Kolam ini sudah mengalami pendangkalan parah hingga
tak mampu lagi menampung debit air dalam jumlah besar.
Menurut Kepala Dinas Marga &
Pengairan Kota Samarinda, Dadang Airlangga, pihaknya telah menyiapkan
desain program penanganan banjir, seperti di Simpang Vorvoo sejak tahun
2010 namun tak bisa terealisasi akibat APBD kota Samarinda sedang
defisit. Desain program itu salah satunya berupa pengerukan Volder
Vorvoo, seperti diberitakan di koran Tribun Kaltim, edisi Kamis, 14 Juli
2011, halaman Tribun Samarinda. Semoga saja di APBD 2011 dapat
terealisasi. Amin. (Gambar 19 : Hasil ikan tangkapan warga dengan
pancing pukat di Volder Vorvoo).
Setelah puas mengambil gambar di sekitar
Vorvoo, saya putuskan untuk berpindah lokasi. Pilihan selanjutnya adalah
Jalan Pramuka. Salah satu titik langganan banjir jika hujan deras
terjadi. Kebetulan saya tinggal di area Pramuka juga, jadi sekalian
pulang. Saya memilih untuk masuk ke jalan Pramuka dari arah jalan M.
Yamin. Ternyata pilihan yang salah. Banjirnya gede . Tak berani
menorobos ah. Saya terpaksa memutar jalur masuk lewat pintu Gerbang
Utama kampus Universitas Mulawarman (Unmul). Jalan Pramuka terhubung
langsung dengan pintu Gerbang Belakang kampus Unmul dan Jalan
Perjuangan. Malam itu kampus nampak sepi sekali. Dinginnya cuaca
menghadirkan aura angker. Hehe.
Tiba di pintu belakang kampus Unmul,
benar saja, banjir menggenangi simpang tiga Gerbang Belakang Unmul –
Jalan Pramuka – Jalan Perjuangan. Seperti nampak pada Gambar 20.

(Gambar
20 : Banjir menggenangi simpang tiga Pintu Gerbang Belakang Unmul –
Jalan Pramuka – Jalan Perjuangan. Pada gambar : ke arah kiri menuju
Jalan Pramuka. Lurus ke depan menuju Jalan Perjuangan. Ke arah belakang
(arah depan mobil) menuju kampus Unmul).

(Gambar
21 : Jalan Pramuka yang sudah menjadi lautan banjir (lebay mode on).
Nampak seorang pengendara wanita sedang berhenti di tengah jalan.
Kayaknya bimbang tuh. “Ayo Mbak, berani gak menerobos? Hehe…”

(Gambar 22 : Nampak pintu akses gerbang belakang kampus Unmul juga ikut tergenang banjir)
Setelah mengambil beberapa gambar, saya
pikir waktunya untuk pulang. Ups…mesin motor saya tak bisa dinyalakan.
Saya kaget bukan main. Ini bukan waktu yang tepat untuk mogok. Setelah
periksa lebih teliti, ternyata bensinnya habis. Alhamdulillah, tak jauh
dari situ ada warung yang juga menjual bensin eceran. Terbebaslah saya
dari adegan mendorong motor.
Saya pun pulang ke rumah lewat jalur
belakang pramuka 6 yang biasanya masih bisa dilewati motor. Tapi malam
ini saya bernasib sial. Jalan Pramuka 6 keburu dibokir oleh warga. Bukan
karena keegoisan warga, tapi demi keselamatan pengendara jalan. Karena
menurut warga, di beberapa titik banjirnya cukup dalam. Riskan jika
dipaksakan untuk dilewati motor. Benar saja, jalan pramuka 6 di beberapa
titik memang agak rendah.

(Gambar
23 : Demi keselamatan pengendara itu sendiri, warga menutup Jalan
Pramuka 6 dengan kursi dan besi sehingga tidak dapat dilewati kecuali
dengan berjalan kaki).
Apes dah nasib. Padahal jarak kost saya
tinggal dua blok saja dari lokasi itu. Tiba-tiba hape saya berdering.
Ardan, teman KKN menelpon.
“Asslamu’alaikum,” salam di seberang
telpon. “Wa’alaikum salam,” jawabku. “Antum dimana akh?” tanya dia. “Di
area Pramuka, aya naon?” tanyaku balik. “Este emje-an yuk…di Juanda 6,
disini ikhwan KKN kita lengkap nih,” jawabnya. “Hee…Emang gak banjir
disitu?” tanyaku keheranan. “Nggak, Juanda udah mulai surut. Kesini ya,
ditunggu.” ucapnya. “Baeklah…tapi awas loh ya kalau sampe motor saya
mogok, ta jotos memang!” jawabku. “Hehe…siip…kabari kalau mogok,
Assalamu’alaikum” ucapnya.

(Gambar
24 : Sekumpulan anak muda menikmati aneka minuman hangat di lapak PKL
Juanda 6). Uniform Atasan sih keren, almamater kebanggaan terpasang
dengan rapi. Bawahan? Haduh…korban nyeker kebanjiran. Hehe..

(Gambar
24 : Sekumpulan anak muda menikmati aneka minuman hangat di lapak PKL
Juanda 6). Tetap kompak di dalam dan di luar jam kerja KKN. “Tim 135,
Solid!”

(Gambar
25 : Sekolompok peserta KKN membantu warga mengangkat motor yang
terjebak banjir). Proker dadakan. Jangan lupa dicantumkan dalam laporan
kerja ke pihak LPPM. Haha…nilai A menanti Anda.

(Gambar 26 : Peserta KKN 135, memanfaatkan genangan banjir sebagai tempat cuci motor gratis). Cerdik memanfaatkan situasi.

(Gambar 27 : Jika ada sekumpulan anak muda yang berwisata di tengah banjir kota, salah satunya adalah mereka. Termasuk penulis)
Penasaran seperti apa awan tebal yang
menyelimuti langit kota Samarinda sebelum hujan turun? Senin sore
(11/07/2011), saya sempat mengambil gambar langit kota Samarinda yang
sedang dipenuhi awan hitam tebal. Pertanda akan turun hujan sangat
deras. Seperti nampak pada Gambar 28.

(Gambar 28 : Awan hitam tebal menyelimuti langit kota Samarinda. Pertanda hujan deras akan turun).
Gambar ini saya ambil dari jalan Pramuka.
Saat itu saya sedang menikmati hidangan lezat Nasi Soto di sebuah
warung makan. Sekitar pukul 17.00, langit tiba-tiba saja ditutupi awan
hitam disertai angin kencang. Masih trauma dengan banjir besar pada hari
Minggu sebelumnya, warga pun nampak panik kocar kacir mengamankan
barang-barang rumah yang terancam genangan air. Seorang ibu dari sebelah
warung berkomentar. “Waduh…belum selesai bersih-bersih rumah mau hujan
deras lagi. Tanda-tanda banjir nih,” tuturnya agak sedikit kesal.
Saya hanya bisa menghela nafas mendengar
tuturan ibu itu. Menurut kalian awan itu akan menghadirkan banjir lebih
besar dari hari sebelumnya? Jawabannya : Tidak! Padahal banjir
sebelumnya tak diawali dengan awan hitam tebal seperti pada gambar. Tapi
langit yang cerah sanggup menurunkan air lebih banyak. Saya pun
keheranan dengan fenomena itu. Bisa jadi itu adalah efek pemanasan
global yang semakin parah. Tapi kesimpulan tertinggi lainnya, itulah
Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Allahu Akbar…!